Rabu, 26 Januari 2011

wawasan bimbingan konselor



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang masalah
Payung hukum bahwa konselor itu pendidik dinyatakan eksplisit dalam UU No. 20/2003 pasal 1 (6), dan ini berarti bahwa konselor berada sejajar dengan tenaga pendidik lainnya seperti guru, dosen, widyaiswara, dan tutor, namun dalam konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang unik dan berbeda. Melalui pengamatan sepintas terhadap ketentuan perundang-undangan, mulai dari UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sampai kepada PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan berlanjut kepada UU nomor 14 tentang Guru dan Dosen, tidak dapat ditemukan pengaturan tentang konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang dapat digunakan sebagai kerangka pikir untuk penyusunan standar kompetensi dan pendidikan profesional konselor. Oleh karena itu, salah satu langkah awal yang dilakukan dalam rangka penyusunan Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah yang diamanatkan dalam Rakernas ABKIN pada tanggal 5 - 7 Januari 2007 di Wisma UNJ, adalah mengkaji secara lebih cermat landasan yuridis-akademik-empirik yang terkait, agar dapat disusun suatu rujukan dasar atau worldview yang koheren bagi Penyelenggaraan Layanan Ahli Bimbingan dan Konseling khususnya dalam sistem pendidikan formal di tanah air.

B.     RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
·         memahamkan tentang apa itu konselor
·         memberikan penjelasan tentang pengertian konselor
·         menerangkan  apa yang harus dimiliki oleh konselor dalam pribadinya
·         menerangkan bagaimana cara bersikap dan terampil sebagai konselor
C.   TUJUAN PENULISAN
Ø  memenuhi tugas berstruktur mata kuliah “BIMBINGAN KONSELING”
Ø  Agar mahasiswa mengerti tentang Wawasan Profesi konselor
Ø  Agar mahasiswa mengerti betul tentang profesi konselor sehingga dapat mengamalkannya dalam pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemahaman Konselor
1.      Konsep Pemahaman
Memahami menurut Tyler diartikan sebagai usaha merenggut makna secara jelas dan lengkap terhadap apa yang telah dijelaskan. Pemahaman menurut Gilmore juga merupakan kemampuan merenggut makna dan atau kemampuan untuk memprediksi, sebagai tugas yang amat sulit.[1]( Pemahaman tidak dapat dilakukan seseorang dengan mudah, karena dalam memahami tidak cukup untuk sekedar mengingat tetapi harus dapat memperoleh makna dan kemudian dapat menjelaskan apa yang dipahami dengan baik.
Pemahaman adalah suatu proses. Terdapat tiga fase proses pemahaman yang dapat dilakukan konselor. Proses pemahaman dapat dilakukan dengan tiga tahapan yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Fase I/ Data Input, yaitu konselor menerima informasi verbal dan non verbal.
b. Fase II/ Data Processing, yaitu informasi yang telah diperoleh kemudian
diproses melalui sistem konstruk konselor, diorganisir dan disimpan.
c. Fase III/ Data Output, yaitu melakukan koreksi, konfirmasi, dan kemudian tindakan lanjutan terhadap informasi yang telah diperoleh konselor.
Proses pemahaman yang dilakukan oleh konselor terdapat dalam keseluruhan wilayah kehidupan. Terdapat tiga klasifikasi wilayah kehidupan dalam proses pemahaman, meliputi wilayah kehidupan pekerjaan, wilayah kehidupan hubungan atau persahabatan, dan wilayah kehidupan ketersendirian. Ketiga wilayah ini juga perlu dipertimbangkan dalam mengkaji proses pemahaman. Sehingga dapat dimaknai bahwa dalam fase input, processing, dan output perlu diungkapkan juga keterkaitannya dengan wilayah pekerjaan, hubungan atau persahabatan, dan ketersendirian.[2]
 Kedudukan wilayah yang berbeda, dapat diselesaikan dengan berbeda pula. Pada periode tertentu satu wilayah dapat menjadi lebih sentral bagi keberadaan seseorang, atau ketiga wilayah itu bertautan menjadi suatu kombinasi aktivitas, atau menjadi kompleks secara terus-menerus diantara aktivitas-aktivitas dalam satu wilayah dan tuntutan-tuntutan dari wilayah lain.[3]
Mencapai suatu pemahaman, diperlukan adanya pengetahuan dan keterampilan dari seorang konselor. Pengetahuan yang mendalam dimiliki oleh konselor berkenaan dengan teori yang mendasari suatu permasalahan yang ingin diketahui. Keterampilan pada umumnya memiliki keterkaiatan dengan adanya praktik. Konselor yang terampil adalah konselor yang memenuhi karakteristik kompetensi konselor dalam melaksanakan tugas. Karakteristik konselor yang diperlukan dalam pemahaman itu menurut Brammer, mengarah pada efektifitas yang berwujud emphaty, hangat dan penuh perhatian (warmth and caring), terbuka (openess), penghargaan secara positif (positive regard), dan kekonkritan dan kekhususan (concreteness and specifity).[4]
Pendapat lain mengungkapkan beberapa karakteristik yang harus dimiliki konselor untuk dapat memahami, diantaranya:
1) Rogers, menekankan penghargaan dan penerimaan yang tidak bersyarat apapun dan empati atau pengertian terhadap pengalaman, pikiran, perasaan. Keserasian yang berarti bahwa konselor menyadari reaksi-reaksi dalam batinnya sendiri.
2)  Truax dan Carkhuff, mengemukakan pengertian terhadap konseli yang dikomunikasikan juga kepada konseli secara jelas, perhatian kepada konseli yang tidak membuat konseli menggantungkan diri pada konselor, konselor ikhlas berarti tidak berpura-pura atau bersandiwara.
3) Tyler, menyebut dua sikap dasar yaitu penerimaan kepada konseli dan pengertian atau pemahaman, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan kepada konseli apa yang ditangkap oleh konselor mengenai pikiran dan perasaan konseli.
4)  Shertzer & Stone menyatakan bahwa penerimaan dan pengertian atau pemahaman yang kedua-duanya dapat dipandang sebagai sikap dasar atau sebagai keterampilan khusus.

B.     Pengertian Konselor
Kata konselor menegaskan petugas pelaksana pelayanan konseling. Sebutan pelaksana pelayanan ini telah berkembang, yaitu dari tenaga penyuluh, tenaga BP, guru BP/BK, guru pembimbing, dan sekarang menjadi konselor. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang konselor jika berlatar belakang pendidikan minimal sarjana strata 1 (S1) dari jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB), Bimbingan Konseling (BK), atau Bimbingan Penyuluhan (BP).[5]
 “Konselor adalah seorang ahli dalam bidang konseling, yang memiliki kewenangan dan mandat secara profesional untuk melaksanakan kegiatan pelayanan konseling”.[6] Dijelaskan juga bahwa “konselor sekolah adalah seorang tenaga profesional yang memperoleh pendidikan khusus di perguruan tinggi dan mencurahkan seluruh waktunya pada pelayanan Bimbingan dan Konseling”.[7]
Dari beberapa pengertian konselor yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa konselor adalah seseorang yang mempelajari konseling dan secara profesional dapat melaksanakan pelayanan konseling dengan berlatar belakang pendidikan minimal S1 Jurusan BK. Pelayanan konseling yang dilaksanakan oleh konselor, salah satunya adalah layanan konsultasi BK. Dalam layanan konsultasi BK, seorang konselor harus mampu mengembangkan WPKNS (wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap) konsulti.
C.    Petugas Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dan Madrasah
Secara umum, dikenal dua type petugas bimbingan dan konseling disekolah dan madrasah yaitu:  
1.      professional 
2.      non professional.
Petugas  Bimbingan dan konseling professional adalah mereka yang direkrut atau di angkat atas dasar kepemilikan ijazah atau latar belakang pendidikan profesi dan melaksanakan tugas khusus sebagai guru BK ( tidak mengajar ). Petugas bimbingan profesionl tidak mengajarkan materi pelajran atau bisa disebut dengan ( full time guidance and conseling ).
Tenaga professional BK disekolah dan madrasah bisa lebih dari satu orang, apabila sekolah dan madraah berpegang pada pola spesialis, tenaga professional manjadi tenaga inti dan memegang peranan kinci dalam pelayanan BK di sekolah dan madrasah yang bersangkutan.
            Petugas BK non professional adalah merela yang dipilih dan diangkat tidak berdasarkan keilmuan atau latar belakang profesi. Yang termasuk dalam tugas BK non-profesional disekolah dan madrasah adalah :
a.       guru wali keals yang selain memegang kelas tertentu diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai petugas guru BK.
b.      Guru pembimbing, yaitu seorang guru yang selain mengajar pada mata pelajaran tertentu, terlibat juga dalam pelayanan BK (  part time teacher and part time counselor ).
c.       Guru mata pelajaran tertentu yang diserahi tugas khusus menjadi tugas ( Guru BK ).
d.      Kepala sekolah ( madrasah ) yang bertanggung jawab atas sekurang-kurangnya 40 orang siswa.
D.    Syarat-syarat pembimbing  (Konselor) sekolah dan madrasah
            Arifin dan Eti Kartikawati ( 1994/1995 ) menyatakan bahwa BK disekolah termasuk madrasah dipilih atas dasar  kualifikasi :  ( 1 ) keperibadian ( 2 ) pendidikan ( 3 ) pengalaman dan ( 4 )  kemampuan.
1.      Syarat  yang berkenaan dengan keperibadian
            Seorang guru pembimbing atau konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Pelayanan BK berkaitan dengan pembentukan prilaku dan kepribadian klien. Melalui konseling diharapkan terbentuk prilaku positif ( akhlak baik ) dan kepribadian yang baik pula pada diri klien. Upaya ini akan efektif apabila dilakukan oleh seseorang yang memiliki keperibadian yang baik pula.
            Keperibadian yang baik dalam konteks islam ditandai dengan kepemilikan iman, makrifah, dan tauhid. Dengan demikian seorang konselor terutama yang berperaktik di lembaga-lembaga pendidikan islam harus memiliki keimanan, kemakrifatan, dan ketauhidan yang berkualitas.
2.      Syarat yang berkaitan dengan pendidikan
Pelayana BK merupakan pekerjaan professional. Setiap pekerjaan professional menuntut persyaratan-persyaratan antara lain pendidikan. Seorang konselor selayaknya memiliki pendidikan profesi, yaitu jurusan bimbingan konseling strata satu (1), (2), maupun S3  atau sekurang-kurangnya pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan dan konseling.
Para alumni fakultas keguruan atau fakultas tarbiyah bisa menjadi konselor karena mereka pernah mempelajari BK selama dalam pendidikan meskipun secara minor.
3.      Syarat yang berkenaan dengan pengalaman
Pengalaman memberikan pelayanan BK berkonstribusi terhadap keluasan wawasan konselor yang bersangkutan. Sarjana BK S1 yang belum memiliki pengalaman luas dalam bidang bimbingan, mungkin tidak akan lebih baik sebagai pembimbingm bila dibandingkan dengan alumni DIII tetapi telah berpengalaman 10-15 tahun menjadi guru BK. Syarat-syarat pengalaman calon guru BK setidaknya pernah diperoleh dari praktik BK dalam laboratorium, PPL  BK atau juga paling tidak pernah memberikan pelayanan BK kepada para siswa.
4.      Syarat yang berkenaan dengan kemampuan
M.D Dahlan ( 1987 ) menyatakan bahwa konselor dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling. Konselor harus mampu mengetahui dan memahami secara mendalam sifat-sifat seseorang, daya kekuatan pada diri seseorang, merasakan kekuatan jiwa apakah yang mendorong sesorang berbuat dan mendiagnosis berbagai persoalan siswa, selanjutnya mengembangkan potensi individu secara positif.[8]           
E.     Kualitas Pribadi Konselor

Pelayanan bimbingan dan konseling diminati oleh orang yang menghendaki kondisi hidup yang membahagiakan. Pelayanan ini dikatakan profesional apabila dilakukan oleh seorang konselor yang berkualitas. Kualitas seorang konselor salah satunya dapat dinilai dari pribadinya. Kualitas pribadi konselor adalah criteria yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika dibandingkan dengan pendidikan dan latihan yang ia peroleh.
Beberapa ahli mengungkapkan karakteristik konselor yang menunjang kualitas pribadi konselor. Menne menyebutkan ’kualitas pribadi konselor yaitu:
1.      memahami dan melaksanakan etika profesional,
2.      mempunyai rasa kesadaran diri mengenai kompetensi, nilai, dan sikap,
3.   memiliki karakteristik diri yaitu respek terhadap orang lain, kematangan pribadi,memiliki kemampuan intuitif, fleksibel dalam pandangan dan emosional stabil.
4.      kemampuan dan kesabaran untuk mendengarkan orang lain dan kemampuan berkomunikasi’. [9]
Belkin menyajikan sejumlah ’kualitas kepribadian konselor yaitu :
a.       mengenal diri sendiri (knowing oneself).
b.      memahami orang lain (understanding others).
c.       kemampuan berkomunikasi dengan orang lain (relating to others)’.
Mengenal diri sendiri berarti konselor menyadari keunikan diri sendiri, mengetahui kelemahan dan kelebihannya, dan usaha apa yang dilakukan agar dia dapat berhasil. Memahami orang lain menuntut keterbukaan hati dan kebebasan dari cara berpikir kaku dari konselor. Untuk kemampuan berkomunikasi dengan orang lain mengharuskan seorang konselor dapat memahami dan menghargai orang lain.[10]

F.     KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR

1.      Kualifikasi

Konselor harus memiliki
a.  Nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan dalam bidang profesi konseling
b.  Pengakuan atas kewenangannya sebagai konselor.

2.      Kegiatan Profesional Konselor

  1. Nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan
1)      Agar dapat memahami orang lain dengan sebaik-baiknya, konselor harus terus menerus berusaha menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi  hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya mutu layanan profesional seerta merugikan klien.
2)      Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercayajujur, tertib, dan hormat.
3)       Konselor harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalam Kode Etik ini.
4)      Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin. Untuk itu ia harus tampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar kaidah-kaidah ilmiah.

  1. Pengakuan kewenangan
Untuk dapat bekerja sebagai konselor, diperlukan pengakuan, keahlian, kewenangan oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepadanya oleh pemerintah.

  1. Kegiatan Profesional
1)      Penyimpanan dan penggunaan informasi
Catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lain, semua merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor dimungkinkan sepanjang identitas dirahasiakan. Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga atau kepada anggota profesi lain, membutuhkan perseetujuan klien atau yang lain dapat dibenarkan asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
2)      Keterangan mengenai mengenai bahan profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.
3)      Kewajiban konselor untuk menangani klien berlangsung selama ada kesempatan antara klien dengan konselor. Kewajiban berakhir jika hubungan konseling berakhir, klien mengakhiri hubungan kerja atau konselor tidak lagi bertugas sebagai konselor.

  1. Testing
1)      Suatu jenis tes hanya diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai wewenang yang dimaksud.
2)      Testing diperlukan bila dibutuhkan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanya perbandingan dengan ssampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensia, minat, bakat khusus, dan kecenderungan dalam pribadi seseorang.
3)      Data yang diperlukan dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau dari sumber lain.
4)      Data hasil testing harus diperlakukan setaraf data dan informasi lain tentang klien.
5)      Konselor harus memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan dengan klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
6)      Hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien dan tidak merugikan klien.
7)      Pemberian suatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang berlakukan.

  1. Riset
1)      Dalam melakukan riset, di mana tersangkut manusia dengan masalahnya sebagai subyek, harus dihindari hal-hal yang dapat merugikan subyek yang bersangkutan.
2)      Dalam melakukan hasil riset di mana tersangkut klien sebagai subyek, harus dijaga agar identitas subyek dirahasiakan.

  1. Layanan Individual : Hubungan dengan Klien
1)      Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan klien.
2)      Konselor harus menempatkan kliennya di atas kepentingan pribadinya. Demikianpun dia tidak boleh memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman, dan kemampuan yang dimilikinya.
3)      Dalam menjalankan tugasnya, konselor tidak mengadakan pembedaan atas dasar suku, bangsa, warna kulit, kepercayaan atau status sosial ekonomi.
4)      Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak boleh mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
5)      Konselor boleh memilih siapa yang akan diberi bantuan, akan tetapi dia harus memperhatikan setiap setiap permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banya orang yang menghendaki.
6)      Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya atau orang yang bertanggung jawab padanya.
7)      Konselor harus menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing, khususnya sejauhmana  dia memikul tanggung jawab terhadap klien.
8)      Hubungan konselor mengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan, dan rekan-rekan sejawat. Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan ialah kepentingan klien.
9)      Apabila timbul masalah antara kesetiaan kepada klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil keputusan apakah dia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
10)  Konselor tidak akan memberikan bantuan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, sehingga hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan masing-masing.
11)  Klien sepenuhnya berhak untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai suatu hasil yang kongkrit. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan dengan klien apabila klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.

  1. Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan atau Ahli Lainnya.
1)      Dalam rangka pemberian layanan kepada klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal, maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan selingkungan profesi. Akan tetapi, untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari kliennya.
2)      Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seorang klien bila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat memberikan pertolongan kepda klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan/keahlian maupun keterbatasn pribadinya. Dalam hal ini konselor akan mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus atas dasar persetujuan klien.
3)      Bila pengiriman disetujui klien, maka akan menjadi tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien, orang atau badan yang mempunyai keahlian tersebut.
4)      Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak kepada ahli yang disarankan oleh konselor, maka konselor mempertimbangkan apa baik buruknya kalau hubungan maru diteruskan lagi.

G.    Sikap dan Keterampilan Konselor
Sikap tidak dapat dilihat bentuknya secara langsung, sedangkan keterampilan dapat tampak wujudnya dalam perbuatan seseorang. Menurut Mappiare”sikap dasar konselor meliputi penerimaan, pemahaman, dan kesejatian dan keterbukaan”. Ketiganya dijelaskan sebagai berikut:
1.      Penerimaan, yaitu penerimaan konselor terhadap keunikan pribadi orang lain.
2.      Pemahaman, yaitu kesadaran konselor untuk memahami tingkah laku, fikiran, dan perasaan orang lain.
3.      Kesejatian dan keterbukaan, yaitu keselarasan antara pikiran dengan apa yang diucapkan, konselor juga harus jujur dengan semua hal yang menyangkut hubungan konselor dengan kliennya.
Keterampilan konselor meliputi kompetensi intelektual, kelincahan karsacipta, dan pengembangan keakraban. Diuraikan sebagai berikut:
a.       Kompetensi intelektual, keterampilan komunikasi yang baik oleh konselor dapat membantu proses interviu.
b.       Kelincahan karsa-cipta, yaitu konselor tidak kaku, tanggap terhadap perubahan-perubahan sikap, persepsi dan ekspektasi.
c.       Pengembangan keakraban, yaitu konselor bertanggungjawab menciptakan, memantapkan dan melanggengkan suasana akrab agar terjadi hubungan keterbukaan.[11]



BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Memahami menurut Tyler diartikan sebagai usaha merenggut makna secara jelas dan lengkap terhadap apa yang telah dijelaskan.
Terdapat tiga fase proses pemahaman yang dapat dilakukan konselor. Proses pemahaman dapat dilakukan dengan tiga tahapan:
1. Data input
2. Data processing
3. Data output
Kata konselor menegaskan petugas pelaksana pelayanan konseling. Konselor adalah seorang ahli dalam bidang konseling, yang memiliki kewenangan dan mandat secara profesional untuk melaksanakan kegiatan pelayanan konseling
Petugas bimbingan dan koseling disekolah dan madrasah secara umum ada dua tipe :
Formal dan non formal
Syarat-syarat sebagai konselor disekolah dan madrasah di kualifikasikan atas :
·       Keperibadian
·       Pengalaman
·       Pendidikan
·       kemampuan
Kualitas pribadi konselor yaitu:
1.      memahami dan melaksanakan etika professional
2.      mempunyai rasa kesadaran diri mengenai kompetensi nilai dan sikap.
3.     memiliki karakteristik diri yaitu respek terhadap orang lain, kematangan pribadi memiliki kemampuan intuitif, fleksibel dalam pandangan dan emosional stabil.
4.      kemampuan dan kesabaran untuk mendengarkan orang lain dan kemampuan berkomunikasi.
Sikap tidak dapat dilihat bentuknya secara langsung, sedangkan keterampilan dapat tampak wujudnya dalam perbuatan seseorang
Sikap dasar konselor meliputi :
·         pemikiran
·         pemahaman
·         kesejatian dan keterbukaan
Keterampilan konselor meliputi
Ø  kompetensi intelektual.
Ø  kelincahan karsacipta.
Ø  pengembangan keakraban.


DAFTAR PUSTAKA
Awalya. 1995. Upaya Pemahaman Siswa Yang Dilakukan Konselor Dalam
Melaksanakan Bimbingan di Sekolah. Tesis, tidak diterbitkan. IKIP
Bandung
Mappiare, Andi. 2004. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Prayitno. 2004. Layanan Konseling. Padang: BK FIP
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar- dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta
Tohirin. 2007.bimbingan dan konseling disekolah dna madrasah. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada,
Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung:
Alfabeta
Winkel, W.S. dan M.M. Sri Hastuti. 2005. Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi






[1] Awalya. ( Upaya Pemahaman Siswa Yang Dilakukan Konselor Dalam Melaksanakan Bimbingan di Sekolah). Tesis, tidak diterbitkan. IKIP Bandung.1995). hal 31

[2] Ibid. hal 32

[3] Awalya. Op.cit. hal 32
[4] Awalya. Op.cit. hal 27
[6] Prayitno dan Amti Erman. Dasar- dasar Bimbingan dan Konseling. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).
[7] Winkel dan Sri Hastuti.Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.( Yogyakarta: Media Abadi, 2005 ) hal   167

[8] Tohirin,bimbingan dan konseling disekolah dna madrasah, ( Jakarta: PT RajaGrafindoPersada,2007) hal 111-122
[9] Sofyan  Willis,. Konseling Individual Teori dan Praktek. ( Bandung: Alfabeta, 2004).hal 80

[10] Winkel dan  Sri Hastuti. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. ( Yogyakarta: Media Abadi, 2005). Hal 185

[11] Andi Mappiare. Pengantar Konseling dan Psikoterapi.(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004). Hal 98-116